21.4.12

Contoh Review Buku

1.      Identitas Buku :
Judul Buku      : Negative Learning
Penerbit           : PT. Era Adicitra Intermedia
Penulis             : Masruri
Halaman          :199 Halaman
Tebal               :13 X 19,5 Cm
2.      Identitas        : Mardiana (09110037), Tarbiyah-Fakultas Agama Islam_UMM
3.      Judul Review: Mendiagnosa Dosa Besar dalam Dunia Pendidikan

Di zaman seperti saat ini banyak anak yang malas untuk belajar. Begitu mendengar kata “belajar”, anak-anak pasti segera mencari berbagai alasan untuk menghindar, akibatnya belajar hanya akan menjadi rutinitas yang kepepet untuk dilakukan dan tentu bukan menjadi rutinaitas yang digemari. Anak-anak akan lebih suka bermain dengan teman-teman, bermain komputer atau internet (seperti facebook, twitter dan lain-lain) atau bermain video game dari pada belajar, sebab bagi mereka belajar merupakan sesuatu yang membosankan.

Melihat fenomena yang ada, anak yang dipinta untuk belajar hanya akan membuka buku dan membaca atau mengerjakan PR (Pekerjaan rumah) lantas kemudian ditutup dan ditinggalkan, apabila ditanya sudah belajar apa belum? maka jawabannyapun sudah. Apakah belajar itu memang hanya membaca sekilas dan mengerjakan PR? jika demikian bagaimana pengetahuan anak bisa bertambah, bagaimana pelajaran sekolah anak bisa terserap, selanjutnya tidak jarang suasana hati dalam belajar menjadi hilang sehingga anak menjadi malas untuk belajar.


Pemikiran anak terbentuk dari asumsi-asumsi yang diambil berdasarkan informasi-informasi ataupun pengalaman yang dialami anak tanpa dikritisi terlebih dahulu. Ini mengabarkan pada kita bahwa sebagai masyarakat terdidik kita harus menilik kembali pada cara pandang kedua orang tua, guru, dan lingkungan sekitarnya agar pemahaman anak yang secara parsial patut diarahkan dan patut dipahami untuk kemudian ditindak lanjuti dengan bijak.


Salah satu hal yang sering menghambat anak rajin belajar adalah pandangan ideal kedua orang tua atau guru terhadap kenyataan yang ada pada diri anak. Umumnya kebanyakan orang tua atau guru hanya memandang sisi kekurangan dari anak. Padahal kesuksesan seorang anak tergantung pada bagaimana kita memandang dan meyakini kelebihan dan kekurangan seorang anak, karena dengan begitu sang anak termotivasi menjadi sukses.

Menghadapi persoalan anak orang tua atau guru tidak terlepas dari penilaian manusia sebagai individu yang harus mengerti secara psychologis dan manusia sebagai makhluk sosial dimana pendidik yang semestinya selalu memberikan respon edukatif terhadap apapun prilaku anak, sehingga prilaku negatif anak semestinya dilihat dari perspektif pendidikan yakni sebagai produk dari sebuah pembelajaran (learning). Dengan demikian tanggapan yang diberikanpun bersifat mendidik yakni perenungan atas sebab-sebab, serta tindakan yang tepat untuk menyadarkannya.

Anak yang hyperaktif belum tentu anak yang nakal, mereka hanya berusaha mencari jalan untuk mengembangkan kreatifitas mereka bahkan sebaliknya prilaku kekerasan yang dilakukan anak, boleh jadi dicontohkan oleh orangtuanya atau bahkan gurunya, yang kemudian mengakibatkan terbentuknya kepribadian anak yang pemarah, kasar, dan beringas. Anakpun menjadikan kekerasan fisik untuk menyelesaikan persoalan hidupnya. Dengan demikian, ia menjadi tidak segan memukul atau menyakiti teman-temannya maupun saudaranya sendiri. Keteladanan dan dukungan orang tua dan guru perlu terus dikuatkan pada anak, karena mayoritas waktu anak dihabiskan bersama orang tua dan sekolah.

Selaras dengan pernyataan diatas Masruri selaku penulis buku menganalisis kritis terkait cara konsep penanaman nilai yang salah terhadap anak (hal.175). Analisis dilakukan untuk menjadi sebuah renungan terkait kenyataan-kenyataan yang kerap kali terjadi di lingkungan sekolah dan keluarga. Penulis buku berasumsi bahwa prilaku negatif merupakan bagian dari hasil Learning, artinya jika seseorang melakukan prilaku negatif maka dapat dipastikan pula ada proses Learning (pembelajaran) yang sadar atau tidak itu akan menjadi contoh bagi anak.

Apa yang disampaikan oleh Masruri dalam buku tersebut sangat benar adanya karena gimanapun masa anak adalah masa imitasi terhadap apa yang dilihatnya, ketidaktahuan mereka terhadap sesuatu cendrung mendorong mereka untuk mencari tahu bahkan melakukannya. Selaras dengan itu “bahwa usia anak terbagi menjadi dua masa yakni masa vital dan masa estetik, pada masa vital anak menggunkan fungsi biologisnya untuk menemukan hal-hal baru yang belum pernah dilakukan sebelumnya, hal ini dibuktikan dengan banyaknya anak bertanya terhadap sesuatu. Sedang pada masa estetik anak mulai belajar bereksplorasi melalui apa yang dilihatnya dan cendrung meniru terhadap apa yang dilihatnya”[1].

Disamping itu Masruri juga berusaha mengabarkan kepada khlayak bahwasahnya prilaku negatif sangat memiliki cela untuk memasuki kehidupan pendidikan kita. Hal ini dijelaskan oleh Masruri pada Bab 4 dimana komunikasi, media massa, bahkan aturan-aturan yang diterapkan oleh pendidik justru menjadi pintu awal beranjaknya pembelajaran negatif dalam proses perkembangan anak.

 Akan tetapi ada suatu hal yang harus dipertimbangkan lagi oleh Masruri ketika memasukan peraturan tanpa teladan ke dalam prilaku hipokrit dan prilaku pembangkangan, karena benar adanya jika hipokrit atau prilaku semu yang dilakukan oleh pendidik untuk memberi tauladan kepada peserta didik berpengaruh kuat ketika realita yang ada bertolak belakang. Begitupun prilaku pembangkangan bisa timbul karena adanya peraturan yang membuat anak tidak terima ketika pendidik sekalipun melakukan pelanggaran yang diberlakukan, hanya saja agar tidak terajadi keambiguan staiment maka perlu kiranya Masruri menganti redaksional sub bab yang sama agar spesifikasi pembahasan lebih harmonis.

Selanjutnya  Masruri mengungkapkan dengan gamblang tentang sifat-sifat negatif learning yang kadang kalah tidak disadari kehadirannya, begitupun perbuatan yang terus menerus terulang kendatipun sadar dan memahami akibat dari prilaku negatif, akan tetapi menjadi samar karena ketajaman mata hati yang tertutup oleh tebalnya kabut emosi, yang istimewanya Masruri mencoba memberi pemahaman dalam pembahasan ini melalui sebuah cerita atau kisah yang dilakukan oleh seorang takkala bertengkar dengan lawan intraksinya di hadapan anak. Wajar apabila Masruri menegaskan hal tersebut merupakan pula bagian dari pembelajaran negatif secara tidak langsung.

Disamping kelebihan-kelebihan yang ada buku inipun tak lekang oleh kekurangan-kekurangan, karena menilik pada filosofi ketertarikan antara gula dan semut, dimana ada gula maka disitupun terdapat semut, sama halnya buku Negatif Learning ini dimana ada kelebihan maka disitu pulalah terdapat kekurangan.

Buku ini secara jelas menorehkan  tujuan ditulisnya buku ini yakni membongkar dan membentengi cara komunikasi yang cara serta meluruskan cara pandang guru dan orang tua terhadap anak. Akan tetapi realita yang ada dalam buku ini Masruri hanya membongkar serta mendiagnosa kejadian-kejadian yang terjadi dalam dunia pendidikan, baik yang dilakukan oleh guru di sekolah ataupun yang dilakukan orang tua di rumah.

Setelah membaca dari bab ke bab buku ini hanya memberikan tiga solusi saja yakni pada pembahasan negatif learning melalui media massa (hal.74-80) serta negatif learning melalui aturan (hal.160-173), sementara untuk bab 6 (bab teakhir) benar adanya Masruri mencoba memberi informasi untuk menutup negatif learning, akan tetapi tetap saja masih ada banyak kesalahan-kesalahan yang telah di bongkar oleh Masruri dalam buku ini yang sangat membutuhkan solusi kogkrit bagi orang tua dan para guru aga sekiranya dikemudian hari tidak mengulangi kesalahan yang ada.

Selanjutnya terlepas dari itu semua tetap kepada bobot yang terkandung dalam buku ini bahwa buku ini memang pantas menjadi traffic light bagi para pendidik karena mengingat proses pembelajaran negatif ini berjalan dengan samar seperti angin yang berhembus menggoyangkan pucuk pepohonan, mudah dilihat akan tetapi sangat sulit menagkalnya,  sehingga buku ini hadir ketangan pembaca sebagai penunjuk jalan, paling tidak pembaca dapat memperoleh gamabaran tentang model dan sifat pembelajaran negatif yang kerap kali dilakukan oleh para pendidik baik itu guru maupun orang tua, yang mana ketika telah mengetahui model dan sifat pembelajaran negatif maka tidak rentan lagi bagi kita untuk melakukan hal yang sama pula di kemudian hari.


[1] Darmaningtyas. Pendidikan Rusak-Rusakan. Yogyakarta.2005, hal.196

1 komentar:

Hida Pecinta Kata mengatakan...

Mohon maaf, yang ditulis diatas resensi apa review ya?

Posting Komentar