21.4.12

Degradasi Peran Pendidikan Agama Islam di Tengah Krisis Multidimensional


Indonesia telah mengalami krisis multidimensional, negara kita sampai saat ini masih saja tebelenggu dengan bobroknya moral melalui kasus-kasus yang tidak memberikan nilai-nilai edukatif terhadap masyarakat dan bangsa kita. Koruptor berkeliaran dimana-mana, baik yang telah diliput media masa maupun yang masih bersembunyi di balik baju dinas kebesarannya. Seakan tidak mau kalah dengan para pemimpinya anak muda jaman sekarangpun tidak mau kalah dengan para pemimpinnya yang mencuri dengan cerdas. Mereka tidak sungkan-sungkan mengambil harta orang lain melalui modus penipuan yang berantai.
Kekerasan, anarchisme, sex bebas, narkoba, dan mengkonsumsi minuman keras sudah menjadi cara hidup gaul bagi para remaja/pelajar dan mahasiswa masa kini. Masyarakatpun demikian, banyak kepentingan-kepentingan yang pada akhirnya menimbulkan perpecahan baik mengatasnamakan suku, daerah maupun agama. Walhasil sampai pada tampak kesebuah titik temu bahwa segala macam krisis yang multidimensi tersebut berpangkal dari “Krisis Akhlaq”.
Krisis inilah yang sering kali menyalahkan peran pendidikan agama Islam. PAI dianggap gagal dalam memberi sentuhan rohani kepada peserta didik. Penulis sebenarnya tidak sepakat jika stigma kegagalan tersebut dilemparkan kepada pendidikan agama Islam, karena semua agama memiliki cara masing-masing dalam mendidik moral. Disamping itu kegiatan mendidik merupakan suatu proses penanaman dan pengembangan nilai-nilai norma dalam setiap bidang  studi, sehingga pendidikan moral tersebut tidak hanya menjadi tanggung jawab guru PAI saja melainkan semua guru sesuai disiplin ilmu yang masing-masing mereka ajarkan.
Apabila krisis akhlaq atau moral merupakan pangkal dari krisis multidimensional, sedangkan PAI banyak menggarap masalah akhlaq maka perlu ditelaah lebih lanjut terkait apa yang menjadi kelemahan dari dunia pendidikan kita pada umumnya dan pendidikan agama Islam pada khususnya.
Berjuta-juta anak di Indonesia dianiaya dalam sebuah sistem pendidikan yang segala kekuasaan tertinggi dipegang oleh sistem dan guru. Sadar atau tidak pendidik kita dalam disiplin ilmu manapun guru telah melengserkan posisinya bukan sebagai guru lagi melainkan sebagai komando yang diktator terhadap anak-anak muridnya.
Umumnya dalam kegiatan belajar  mengajar  dikelas guru terkadang ada yang berperan sebagai pawang yang menjejali anak dengan materi ajar. Proses belajar yang terjadi hanya searah, tanpa dialog dan kesempatan bagi anak untuk melakukan proses pemahaman terhadap apa yang disampaikan. Anak hanya mendengarkan guru  berbicara seperti birokrat, guru mengajar seperti pawang yang hendak menjinakan piaraan yang dilatihnya, anak yang hyperaktif dianggap anak nakal yang selalu membuat kegaduhan di dalam kelas, anak tidak dapat berekspresi sesukanya karena guru pemegang hak otoritas terhadap kekondusifan suasana kelas, bahkan ada yang menjadi komando untuk menyuruh anak buahnya dikelas.
Peserta didik dituntut untuk menhafal materi-materi yang disampaikan oleh guru, guru seakan-akan dikejar target untuk memberi materi hafalan tersebut melalui hak kekuasaan terhadap anak-anak didiknya. Anak hanya belajar untuk mendapatkan ranking demi nama baik orang tua, terlebih kelak mereka akan memasuki dunia kerja. Kepentingan anak menjadi semakin terabaikan karena anak belajar hanya untuk menyenangkan orang tua, guru, dan bekerja sehingga sejak dini anak di arahkan kedimensi yang sempit, yakni pendidikan tercipta karena unsur keterpaksaan dan pendidikan tercipta hanya untuk bekerja.
Iklim sekolah membuat anak segan bertanya dan lebih “aman” menghafal dan menghafal. Seolah-olah Tuhan menciptakan anak hanya untuk membeo, padahal justru agar anak semakin kritis dan serba bertanya, bahkan membantah terhadap dimensi-dimensi yang di anggap ganjal agar mantap perkembangannya menuju pribadi yang kritis.
Apa yang tergambarkan diatas merupakan suatu realitas yang tengah terjadi didunia pendidikan kita, baik pendidikan umum maupun di pendidikan agama Islam. Apabila lebih dikrucutkan ke pendidikan agama Islam maka keberlangsungannya di sekolahpun mengalami banyak kelemahan. Hal ini bisa saja disebabkan karena praktik pendidikan hanya memperhatikan aspek kognitif saja sehingga secara tidak sadar mengabaikan pembinaan aspek afektif yakni kemauan atau tekad bagi anak dalam mengamalkan nilai-nilai ajaran agama. Selain itu selama ini pendidikan agama Islam disampaikan hanya sebagai dogma dan kurang memperhatikan aspek rasionaliatas terhadap majunya ilmu pengetahuan. Orientasi pembelajaran kitab sucipun masih cendrung pada kemampuan membaca teks, belum mengarah pada pemahaman arti dan maknanya.
   Guru yang ideal adalah mereka yang bisa menjadi sahabat, ayah, ibu dan kakak bagi anak-anak di kelas. Dimana keberadaan mereka dapat mengantikan figur orang tua selama mereka berada di sekolah. Dan pendidian harus mampu mendampingi anak mencapai sasaran, yakni  satu, dapat membuat anak suka mencari, suka bertanya, dan suka mengambil resiko; dua, dapat menjadikan anak menjadi manusia yang kreatif, inovatif, tidak kaku dan terikat pada pola-pola lama; tiga menjadi manusia yang integral yang utuh jiwanya agar memiliki kesadaran bahwa hidup itu kompleks-multidimensional, namun tidak mudah bingung karena bisa menangkap benang merah di tengah kebhinnekaan yang terjadi.
Dengan kata lain pendidikan agama Islam harus mampu mendampingi mitra didiknya agar semakin menjadi manusia yang cerdas, terampil, jujur, berkarakter, dan takwa. Pendidikan juga harus mampu mendampingi mitra didik untuk menjadi manusia dengan rasa solidaritas melalui aksi solidaritas yang melibatkan anak secara langsung.
 Sebaiknya pula guru harus mampu menggali metode baru dalam memperkaya kurikulum dengan pengalaman belajar yang bervariasi, selain itu pendidikan agama Islam diajarkan bukan sebagai dogma melainkan didampingi oleh ilmu pengetahuan yang sifatnya rasional agar mitra didik bisa timbul rasa cintanya terhadap pengetahuan baru dan kemajuan ilmu pengetahuan.
Agar terjadi harmonisasi dalam dunia pendidikan maka diperlukan interaksi dengan kegiatan pendidikan lainnya, sehingga PAI sebagai mata pelajaran tidak berjalan sendiri agar mitra didik tidak buta dengan perubahan sosial yang terjadi di masyarakat. Anak juga tidak dikekang dalam sistem pembelajaran, baik pembelajaran fiqh ataupun yang lainnya dan guru tidak mudah memberi stigma kepada peserta didik karena pemberian stigma akan  memberi skat kepada sesama mitra didik antar satu dengan yang lainnya. Karena orientasi sekolah bukan untuk semata-mata memperoleh rangking yang baik, melainkan sebagai wadah untuk penyampaian ilmu pengetahuan yang membuat anak dari tidak tahu menjadi tahu.

0 komentar:

Posting Komentar